Kamis, 12 November 2020, adalah titik permulaan saya mulai tertarik dengan isu-isu radikalisme dan terorisme. Tidak ada rencana, tidak ada janji untuk bertemu, tiba-tiba bisa ngobrol santai dan ngopi bareng dengan seorang returnis ISIS yang pernah berada di Suriah. Dengan modal dikenalkan oleh dosen saya sekitar 5-10 menit, saya tidak menyangka orangnya langsung mau menerima tawaran ngopi berdua pada saat itu juga. Sekitar setengah jam berbincang, ada banyak hal menarik dan berkesan yang belum disampaikannya secara detail pada waktu dirinya mengisi acara, terutama tentang keluhannya. 

Tapi kalau lihat di media sosial, di video saya di Youtube, banyak itu yang menghina saya, antek ISIS lah”, demikian keluhnya sembari menghisap satu batang rokok di depan kopi. 

Respons atau komentar negatif dari masyarakat seperti yang dikatakannya pada satu sisi memang cukup wajar mengingat dirinya pernah berada di Suriah selama kurang lebih 10 bulan. Ada semacam rasa khawatir bahwa orang yang sudah pernah ke sana dan kembali ke Indonesia akan menjadi virus tersebarnya ideologi radikal, atau menimbulkan kekacauan dengan melakukan aksi-aksi ‘amaliyah’ seperti bom bunuh diri. 

Kekhawatiran semacam ini memang tidak bisa dinafikan. Kasus-kasus returnis dan deportan seperti Muhammad Aries Rahardjo (napiter-returnis), Muhammad Mustaqim (napiter-deportan), Abdul Latif Fitri Hariyadi (napiter-deportan), adalah sedikit dari banyak contoh kasus yang ada. Mereka kembali dari Suriah atau tidak berhasil masuk ke Suriah, dan setibanya di Indonesia, mereka menggalang dukungan untuk ISIS atau melakukan aksi amaliyah. 

Di sisi lain, respons negatif yang berlebihan juga berpotensi menimbulkan masalah baru, terlebih jika respons tersebut muncul bukan hanya di dunia maya. Potensi paling minim adalah penerima respons merasa terkucilkan di masyarakat. Efek ini bisa berpotensi semakin parah ketika penerima respons justru mendapat tempat dan rasa yang nyaman di kalangan kelompok radikal. Bukan tidak mungkin akan menjadi bagian dari kelompok radikal untuk kedua kalinya. 

Munculnya respons-respons negatif tidak bisa dilepaskan dari minimnya sebaran informasi tentang aneka ragam motif yang melatari orang-orang bergabung ke ISIS. Pada umumnya, respons-respons negatif yang muncul cenderung berkaitkan dengan persoalan pemahaman atau ideologi agama yang radikal atau sesat. Padahal, tidak semua yang bergabung dengan ISIS dilatari oleh persoalan ini. Jika pun tetap ada, itu kurang begitu dominan.

Persoalan motif memang sangat kompleks karena bersinggungan erat dengan motif-motif lainnya. Meski demikian, tidak ada salahnya untuk membaca peta awal untuk mengetahui efek dari motif yang dominan dan kurang dominan. Hal ini sangat penting karena ada semacam kecenderungan bahwa keterlibatan orang-orang yang bergabung dengan ISIS cenderung lebih mudah berubah ke paham moderat ketika motif agama yang mendasarinya tidak begitu dominan. 

Oleh karena itu, dengan memahami motif, kemungkinan-kemungkinan ke depannya apakah yang pernah bergabung dengan ISIS bisa kembali moderat atau justru akan menyebarkan ideologi ISIS atau melakukan aksi amaliyah bisa dibaca dengan baik. 

Pandangan demikian setidaknya tercermin pada kasus returnis ISIS yang ngopi bareng dengan saya, sebut saja Ferdi namanya. Sepulangnya dari Suriah, ia tidak menyebarkan ideologi ISIS, berusaha kembali ke Suriah, atau melakukan aksi amaliyah. Sebaliknya, ia justru aktif dan bergabung dengan salah satu komunitas yang menyuarakan narasi alternatif berkaitan dengan perdamaian atau anti radikalisme dan terorisme. Tanpa menjalani proses hukum kasus terorisme, Ferdi bisa berubah dengan waktu yang agak cepat ke arah pemikiran yang lebih moderat. Perubahan demikian tentu saja tidak bisa dilepaskan dari motif yang melatarinya pada waktu bergabung dengan ISIS.  

Di banyak kesempatan, termasuk pada waktu ngobrol dan ngopi bareng hanya berdua dengan saya dua kali di Yogyakarta, Ferdi selalu mengatakan bahwa motivasi utama dan pertama yang menggerakkan dirinya pergi ke Suriah adalah keluarga. Faktor keluarga begitu dominan dalam dirinya dibanding ajaran atau ideologi agama.

Semua keluarganya berangkat meninggalkan dirinya sendirian di Indonesia. Tinggal di rumah kos sendirian dan jarang bersosialisasi, Ferdi bukan hanya bingung, panik, dan stres, namun juga sering sakit-sakitan. Dalam kondisi seperti ini, ia sama sekali tak berniat untuk menghubungi bapaknya yang masih ada di Indonesia, karena sudah tidak bertemu selama 12 tahun akibat perceraian dengan ibunya. 

Kedekatan dengan ibunya membuat dirinya semakin rindu. Ia selalu teringat dan bertanya-tanya bagaimana kondisi ibunya di sana. Setahun tidak bertemu dan kondisinya yang lemah pada akhirnya  membuat dirinya mulai mencari justifikasi terhadap berbagai perkataan ibunya yang diingatnya bahwa ISIS adalah benar. Ia kemudian mulai mencari situs-situs tentang ISIS seperti ar-rahmah, al-mustaqbal, dan milahibrahim, tanpa mencari situs-situs lain sebagai  perbandingan. Dari situs-situs ini, Ferdi akhirnya memutuskan untuk berangkat karena sudah terlalu rindu dengan ibunya.

Rindu membuat diri Ferdi mengabaikan semua masukan orang di sekitarnya. Suami kakaknya yang gagal masuk ke Suriah tidak digubrisnya, meskipun suami kakaknya sudah mengetahui kondisi sebenarnya sebagai hasil komunikasi dengan istrinya yang berhasil masuk ke sana. Memang benar kata orang, cinta membuat orang buta segalanya. 

Kasus Ferdi memberi gambaran bagaimana ajaran agama memainkan peran yang tidak begitu dominan pada faktanya membuat orang cepat berubah ke moderat. Kasus-kasus serupa sebenarnya bisa dijumpai pada beberapa anggota keluarga Ferdi yang telah berangkat ke sana dan memutuskan untuk pulang ke Indonesia bersama-sama. Tanpa menafikan adanya dominasi  motif agama yang melatari sebagian anggota keluarga Ferdi lainnya, kebanyakan dari anggota keluarganya pada umumnya tergiur oleh janji-janji manis ISIS yang akan memberikan berbagai fasilitas gratis dan tunjangan jika berhijrah ke Suriah, namun hasilnya zonk

Atas dasar motif itu, tidak mengherankan ketika sampai di Suriah, keluarga Ferdi, khususnya yang laki-laki termasuk Ferdi sendiri, tidak mau ikut berperang, sementara anggota keluarga yang wanita menolak segala tawaran menikah dari para tentara ISIS. 

Fakta ini sangat jauh berbeda dengan kasus pengikut ISIS lain dengan motif agama yang dominan, seperti halnya kasus Mohamad Irsya dan Ade Rahmat. Di Suriah, keduanya menjadi tentara ISIS. Meskipun kehidupannya sudah susah dan Mohamad Irsya juga sudah kehilangan anaknya yang terkena bom saat menjaga daerah ISIS, keduanya tetap saja memilih perang. Ketika diminta pulang oleh saudaranya Mohamad Okasa yang ada di Indonesia (adik M. Irsya dan kakak Ade Rahmat), keduanya menolak karena Indonesia dianggap tidak menegakkan syariat Islam. Keduanya bahkan terus meminta uang kepada M. Okasa untuk biaya hidup di Suriah. 

Selain tidak mau jadi tentara, Ferdi dan keluarga besarnya juga tidak ada yang menjadi penyebar ideologi radikal ketika berhasil pulang ke Indonesia. Mereka juga tidak merencanakan aksi-aksi amaliyah sebagaimana simpatisan ISIS lainnya yang terus melakukan aksi lonewolf seperti bom bunuh diri di tempat-tempat yang dianggap tempat kafir atau anshorut thogut

Fakta demikian jelas berbeda dengan para simpatisan ISIS dengan motif ideologi yang dominan. Misalnya adalah Muhammad Aries Raharjo atau Ustad Afief Abdul Madjid. Ia sempat pergi ke Suriah pada bulan Desember 2013 dan berhasil pulang ke Indonesia pada Januari 2014. Sampai di Indonesia, ia aktif menyuarakan kepada banyak orang agar mendukung dan ikut bergabung dengan ISIS. 

Selain Afif Abdul Madjid, ada juga Salim Mubarak at-Tamimi atau Abu Jandal. Sebelum mati saat berjihad bersama ISIS pada tahun 2016, dulunya ia sempat pergi ke Suriah dan kembali ke Indonesia. Sampai di Indonesia, ia mengajak orang-orang untuk berangkat ke Suriah dengan modus misi kemanusiaan dan iming-iming fasilitas menguntungkan yang akan didapat jika mau hijrah ke Suriah. 

Contoh pengikut ISIS lain yang didukung oleh ideologi agama yang dominan bisa dilihat dari kasus-kasus deportan. Mereka gagal menyeberang ke Suriah dan kemudian dideportasi dari Turki. Misalnya adalah Muhammad Mustaqim, alumnus MA Matholiul Anwar dan Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan, dan Fathu Yahya Hasan. Setelah dideportasi pada tahun 2016, Mustaqim masih tetap berusaha untuk merencanakan hijrah ke Suriah dengan cara membuat KTP, KK dan dokumen palsu lainnya. Namun, karena masalah sidik jari dalam pengurusan paspor, upayanya hijrah untuk kedua gagal. Dalam kondisi ini, ia bersama kelompok JAD di Jawa Barat kemudian merencanakan aksi amaliyah/penyerangan TPS-TPS pada waktu Pilkada 2018 di Jawa Barat. Sayangnya, rencananya gagal karena ia tertangkap sekitar seminggu sebelum melakukan aksi. 

Kasus serupa juga dialami oleh Fathu Yahya Hasan. Setelah dideportasi dari Turki pada tahun 2016, ia kembali hijrah lagi pada tahun 2018 bersama istri yang baru dinikahinya. Namun usaha keduanya tetap gagal, karena ia kembali tertangkap oleh pihak keamanan Turki. Setelah dideportasi kedua kalinya, Fathu akhirnya ditangkap dan sekarang menjadi terdakwa kasus terorisme dengan pidana dua tahun enam bulan. 

Beberapa contoh kasus di atas memberi pemahaman sederhana bagaimana dominasi motif ikut mempengaruhi mantan pengikut ISIS ketika sudah kembali di Indonesia. Semakin dominan motif agama yang melatarinya, semakin sulit untuk berubah. Begitu juga sebaliknya, semakin dominan motif non-agama, semakin mudah untuk berubah. 

Dominan dan tidaknya sebuah motif memang tidak berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang ikut mempengaruhi seperti latar belakang pendidikan, kondisi sosial, relasi dengan jaringan pasca kembali ke Indonesia, dan masih banyak lainnya. Semua ini memerlukan waktu yang tidak singkat untuk memahaminya.

Gambar adalah hasil karya Thais Cordeiro berjudul Arab men in white traditional wear praying on embankment dengan lisensi Free to Use yang diunduh dari https://www.pexels.com/photo/arab-men-in-white-traditional-wear-praying-on-embankment-3873659/

Sumber 

Putusan PN JAKARTA UTARA Nomor 1329/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Utr. diunduh dari https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/2a2c60368dbdad9d1ce2e898115a08d2.html

Putusan PN JAKARTA BARAT Nomor 792/Pid.Sus/2019/PN Jkt.Brt. diunduh dari https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/cdf20894366b40509b4a786e895c0a7e.html

Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 2957 K/PID.SUS/2015. diunduh dari https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/5d56a066ec620ec344eadc36b5cb41f4.html

Putusan PN JAKARTA UTARA Nomor 620/Pid.Sus/2018/PN .Jkt Utr. diunduh dari https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/90d7177dc30bf4e577c5baa6fe0aed37.htmlPutusan PN JAKARTA UTARA Nomor 133/Pid.Sus/2019/PN Jkt.Utr. diunduh dari https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/4fa972cc72db5c0cd92d46a55343c6a0.html

Shares:
Show Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *