Di hari-hari terakhir ketika Abu al-Hasan al-Asy’ari di pembaringan, ia memanggil muridnya. Ia meminta muridnya tersebut bersaksi bahwa ia mencabut kembali semua takfīr (baca: pernyataan kafir yang dituduhkan kepada Muslim) yang pernah ia lakukan. Tak lama setelah kejadian itu, pendiri mazhab teologi Islam (baca: ilmu kalam) yang kemudian terkenal dengan mazhab Asy’ariah tersebut menghembuskan nafas terakhir pada tahun 324/936. Ia meninggal dengan disaksikan oleh muridnya bahwa ia adalah orang yang tak lagi menyematkan tuduhan kafir kepada sesama Muslim.
Cerita di atas dikisahkan oleh Taj al-Din al-Subki (m. 771/1370) dalam bukunya yang berjudul al-Ṭabaqāt al-Syāfiʿiyyah al-Kubrā, sebuah kamus biografi para ulama mazhab fikih. Munculnya nama al-Asy’ari dalam buku biografi ini menunjukkan bahwa ia bermazhab Syafi’i dalam bidang fikih.
Pernyataan al-Asy’ari menjelang akhir hayatnya tersebut bagaimanapun juga terasa agak aneh. Sebagai pendiri mazhab teologi, tentu ia mempunyai pengaruh keimuan yang kuat. Riyawat hidupnya banyak dicermati dan dikaji banyak orang. Meskipun demikian, dalam banyak sumber klasik—baik dari sumber sejarah maupun dari sumber teologis—tak ditemukan data bahwa ia pernah melakukan tuduhan kafir kepada sesama Muslim.
Al-Asy’ari merupakan seorang ahli debat sejak ia masih menganut mazhab Muktazilah yang pada akhirnya ia tinggalkan karena kejanggalan cara berpikir yang ia temukan di dalamnya. Sebagai orang yang menggeluti teologi, adu argumentasi terhadap pandangan yang berbeda menjadi tak bisa dielakkan. Isu-isu yang diperdebatkan bisa bermacam-macam: ketuhanan, kenabian, atau tentang hari akhir yang sering disebut dengan kajian eskatologis. Topik-topik seperti itu merupakan arena yang rawan karena sangat berkaitan dengan iman. Oleh karena itu, dalam perdebatan seperti ini, takfīr acapkali menjadi isu yang tak bisa dielakkan. Meskipun demikian, tak ada informasi tentang takfīr yang ia lontarkan kepada lawan teologisnya.
Dalam sejarah teologi Islam, takfīr biasa dilontarkan oleh seorang teolog terhadap lawan debatnya yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar teologis yang dipegangnya. Takfīr merupakan jalan buntu ketika perdebatan tidak menemukan titik temu yang diterima oleh masing-masing teolog yang sedang mendiskusikan isu ketuhanan. Dalam konteks ini, takfīr mempunyai fungsi ganda. Di satu sisi, takfīr merupakan strategi untuk mempertahankan argumentasi yang menopang pernyataan teologis. Di sisi lain, takfīr juga merupakan senjata yang mempunyai kekuatan “teror” untuk melemahkan posisi lawan dan melumpuhkan kekuatan argumentasinya.
Sebagai strategi teologis, takfīr tak hanya mempunyai kekuatan untuk melumpuhkan lawan debatnya. Ia juga mempunyai pengaruh politik dan sosial—dan tak jarang berdampak pada aspek ekonomi. Seseorang bisa saja dikucilkan dan diboikot karena telah dikafirkan. Oleh sebab itu, takfīr bisa lebih kejam dari pembunuhan karena orang yang dianggap telah keluar dari Islam (murtad) seolah telah mati dalam keadaan hidup.
Barangkali ini yang menjadi pertimbangan Abu al-Hasan al-Asy’ari; takfīr adalah kata-kata yang berbahaya. Oleh sebab itu, sebelum meninggal ia ingin memastikan bahwa ia tak mengkafirkan sesama Muslim. Al-Asy’ari mencabut takfīr yang pernah ia pegang meski ia belum tentu pernah menuduhkannya kepada lawan teologisnya. Ia hanya mengantisipasi andai saja ada takfīr yang terucap dan tak sempat ia cabut kembali.
Pencabutan takfīr di atas bisa dikatakan bersifat antisipatif karena sebenarnya sudah lama al-Asy’ari memegang prinsip tentang keengganan melakukan takfīr. Hal itu bisa ditemukan sejak dalam bukunya al-Ibānah ‘an Uṣūl al-Diyānah. Buku ini berisi tentang manifesto sikapnya sebagai seorang teolog yang membela kaum hadis dan fikih dengan melakukan teologisasi tradisi hadis dan fikih. Di dalam buku ini, ia menegaskan bahwa salah satu prinsip teologis yang dipegangnya didasarkan pada keengganan untuk mengkafirkan orang yang masih shalat menghadap arah qiblat (baca: ahl al-qiblah).
Apa yang dilakukan oleh al-Asy’ari memberikan sebuah cerminan dari pergulatan seorang teolog Muslim dalam menjaga sikap terhadap pandangan teologis yang bertentangan dengannya. Pengalaman hidupnya dalam mencari kebenaran teologis memberinya kesadaran bahwa perbedaan pendapat, meskipun berkaitan dengan teologi, tetap harus memberikan ruang penghargaan terhadap perbedaan. Keengganan untuk mengkafirkan merupakan prinsip utama yang ia jaga untuk memastikan bahwa apapun perbedaan teologis yang terjadi keduanya masih merupakan Muslim dengan segenap hak dan kewajiban keagamaannya.
Pengalaman dan sikap yang ditunjukkan oleh al-Asy’ari merupakan hal yang penting dalam menjaga perbedaan teologis dalam tradisi Islam. Nilai penting ini menemukan momennya ketika kecenderungan untuk mengkafirkan terhadap pandangan yang berbeda muncul secara marak dalam masyarakat Muslim. Bahkan sikap tersebut seolah-olah menjadi tren bagi kelompok Muslim yang merasa benar. Hal tersebut pada gilirannya menciptakan kegaduhan keagamaan di ruang publik dan mengakibatkan kebingungan bagi orang awam.
Sikap untuk menuduh Muslim yang berbeda sebagai orang yang keluar dari Islam mencerminkan kedangkalan kesadaran teologis yang dimiliki seseorang. Takfīr merupakan bentuk pengalaman teologis seseorang yang tidak percaya diri dengan kebenaran argumentasi yang dipegangnya. Oleh karena itu, takfīr biasanya muncul karena ketidakmampuan untuk membangun argumentasi yang mendalam dan rasional.
Perdebatan-perdebatan di ranah teologis saat ini sepertinya perlu belajar banyak dari sikap dan kebesaran hati yang ditunjukkan oleh Imam al-Asy’ari. Kengganannya untuk mengkafirkan orang lain merupakan sikap kehati-hatian yang bisa menciptakan kenyamanan beragama. Hal itu sangat dibutuhkan dalam diskusi keagamaan akhir-akhir ini yang seringkali dipenuhi oleh hasrat untuk menuduh orang yang berbeda sebagai orang yang telah keluar dari Islam.
Gambar diunduh dari: https://tebuireng.online/kecerdasan-imam-abu-al-hasan-al-asyari/