Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering dikaitkan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai universal yang melekat pada seluruh umat manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, agama, atau karakteristik lainnya menjadi popular di era modern paska runtuhnya konolialisme Eropa pada pertengahan abad ke-20. Di dunia Islam, gagasan HAM mendapatkan respon yang beragam. Penolakan sering terjadi karena dia dipahami sebagai produk pemikiran Barat yang sekuler, yang tidak selaras atau bahkan bertentangan dengan tafsir keagamaan. 

Di antara isu penting HAM adalah terciptanya keadilan termasuk terhadap komunitas rentan, yang mencakup kelompok masyarakat yang berisiko lebih tinggi mengalami diskriminasi dan marginalisasi karena berbagai faktor seperti status sosial ekonomi, etnis, bangsa, gender, dan disabilitas. Buku ini, Membela Hak-hak Masyarakat Rentan, mencoba untuk mengulas beberapa isu HAM terkait masyarakat rentan di Yogyakarta, dinamikanya di dalam masyarakat Muslim Indonesia, dan beberapa tawaran gagasan agar HAM bagi masyarakat rentan mendapatkan legitimasi keagamaan. Legitimasi ini penting agar usaha-usaha pembelaan dan penegakan hak dasar manusia dapat diterima di kalangan Muslim, sekaligus membantu para fungsionalis agama (penyuluh dan penghulu Kantor Urusan Agama, KUA) dalam melaksanakan tugas di tengah masyarakat.

Penulis buku ini berasal dari berbagai latar belakang: akademisi (Noorhaidi Hasan, Maufur, Nina Marinani Noor, Euis Nurlaelawati, Moh Mufid dan Najib Kailani), fungsionaris KUA (Halili Rais dan Zudi Rahmanto), dan hakim Pengadilan Agama (Abdul Halim). 

Di Pendahuluan, Noorhaidi Hasan mengulas akar permasalahan mengapa HAM mendapat pertentangan di tengah masyarakat Muslim tertentu dan berusaha memberikan bangunan logika bahwa HAM adalah efek dari eksistensi dan koeksistensi manusia hidup di dunia ini. Noorhaidi menegaskan bahwa HAM merupakan konsep kemanusiaan universal yang melekat secara kodrati dalam diri setiap manusia. HAM menjadi penting untuk diperjuangkan karena terkait dengan harkat dan martabat manusia sejak ia dilahirkan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, etnis, bangsa, gender, dan karakteristik unik manusia lainnya.

Membangun Logika HAM Sebagai Hak Kodrati Manusia

Noorhaidi mengajak pembaca untuk menelaah konteks sejarah dan politik yang panjang dari upaya-upaya pemulihan hak dasar dan martabat manusia dalam kerangka bacaan evolutif. Menurutnya, Abad Pencerahan merupakan titik tolak penting bagi munculnya pemikiran dan usaha-usaha dalam merealisasikan keadilan dan kesetaraan hak dasar manusia. Analisis sejarah ini dipakai untuk melihat bahwa gagasan maupun aspirasi HAM bisa saja muncul dari kelompok manusia, bangsa, atau agama tertentu namun konteks sejarah, sosial dan politik tampaknya menentukan sejauh mana gagasan tersebut hanya dapat terealisasikan dalam bentuk tertentu. Noorhaidi menyorot bahwa kesalahpahaman maupun penentangan terhadap HAM di masyarakat Muslim disebabkan di antaranya oleh kekhawatiran kelompok sosial atau politik tertentu akan kehilangan hak istimewa (privilege) yang selama ini mereka nikmati jika HAM diterima oleh dan diimplementasikan di tengah masyarakat Muslim.

Dalam konteks hidup bernegara, Noorhaidi mengaitkan esensi HAM dengan hak sipil warga negara yang bertumpu pada dua aspek: kesetaraan dan non-diskriminasi. Dalam hal ini, negara harus memperlakukan semua warga secara setara tanpa diskriminasi, baik langsung maupun tidak langsung, karena alasan apapun: perbedaan agama, suku bangsa, agama, jenis kelamin, pendapat politik, kelas sosial, orientasi seksual, umur, cacat tubuh atau status lainnya. Terkait kelompok-kelompok minoritas dan marjinal, justru negara harus memberi perlindungan maksimal karena mereka memiliki keterbatasan secara sosial, ekonomi, politik, bahkan fisik.

Argumen HAM di Islam dan Beberapa Tantangan di Lapangan

Buku ini memandang penyuluh agama dan pengulu yang berkiprah di KUA dalam memiliki peran penting dalam mensosialiasasikan dan memahamkan pesan-pesan kesetaraan dan non-diskriminatif pada masyarakat Muslim akar rumput. Hal ini dipandang penting karena tensi dan konflik keagamaan yang menempatkan kelompok minoritas —yang sering diberi label sempalan dan sesat— dalam posisi tertindas sering memunculkan dinamika dan tensi di masyarakat akar rumput. Maufur melihat melihat bahwa para penyuluh sebagai instrumen negara terikat dengan kewajiban memberikan perlindungan dan menegakkan prinsip keragaman beragama sebagaimana amanat UUD 1945, namun di sisi lain, mereka tidak jarang menghadapi dilema teologis untuk melaksanakan fungsi tersebut. Untuk itu, di Bab Pertama Maufur melihat bahwa gagasan HAM perlu ditempatkan dalam posisi tertentu dalam logika keagamaan Islam. Penyuluh agama perlu dididik untuk memiliki kesadaran tinggi bahwa HAM, terutama terkait dengan pembelaan hak-hak kelompok minoritas dan marjinal, tidak hanya merupakan amanat konstitusi, namun juga perintah agama yang bersumber dari Alquran dan hadits tentang kewajiban menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai sesama makhluk Allah.

Di Bab Kedua Nina Mariani Noor menyorot pengalaman dikriminatif yang dialami oleh penganut Ahmadiyah oleh pegawai KUA. Pengikut Ahmadiyah di Indonesia pernah mengalami intimidasi dari kelompok Muslim Sunni karena dianggap sesat dan bukan bagian dari Islam. MUI pada 2005 juga pernah mengeluarkan fatwa terkait label sesat Ahmadiyah. Fatwa MUI tersebut tidak jarang menjadi dalil bagi sejumlah Muslim Indonesia untuk melakukan aksi-aksi diskriminasi dan intimidatif terhadap pengikut Ahmadiyah. Nina menulis problem yang pernah dihadapi oleh kelompok minoritas Muslim seperti Ahmadiyah dan Syiah dalam mencatatkan pernikahan di KUA. Sebagai lembaga negara, KUA seharusnya turut menjamin hak sipil kelompok tersebut sebagai warga negara terlepas dari pandangan teologis mereka di dalam Islam. Namun, fakta bahwa kelompok minoritas masih mendapatkan perlakukan diskriminatif, bahkan termasuk 

dalam hal pencatatan nikah di KUA, menunjukkan bahwa HAM yang membela nilai-nilai kesetaraan non-diskriminatif belum sepenuhnya masuk dalam pemahaman dan nalar keagamaan beberapa fungsionalis KUA. Masalah ini tentu saja membawa dampak terabaikannya hak-hak sipil kelompok tersebut karena mereka pada akhirnya tidak dapat memiliki kartu keluarga, akta lahir anak-anak mereka dan dokumen-dokumen lainnya yang berimbas pada tertutupnya akses layanan publik dan sosial bagi mereka. 

(Potensi) Pelanggaran Hak Dasar dalam Praktik Pernikahan

Literatur fikih klasik tidak menyebut batasan usia bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah. Namun, di era modern di mana hak-hak sipil menjadi perhatian negara modern, batas usia pernikahan menjadi topik yang diatur dalam undang-undang atau peraturan pemerintah. Pembatasan itu dilakukan untuk melindungi hak anak-anak hingga mereka usia dewasa dan mempu membuat pilihan secara mandiri dan matang. Namun, tampaknya pernikahan di bawah umur masih kerap terjadi atas persetujuan KUA dengan beberapa dalih fikih seperti menjaga maslahah (kemaslahatan) dan menghindari mafsadah (kerusakan). 

Di Bab Ketiga Euis Nurlaelawati menyorot praktik isbat nikah yang kerap dipakai sebagai pintu masuk bagi praktik pernikahan di bawah umur dan poligami siri. Euis mengidentifikasi isbat tersebut terjadi karena keputusan hakim di Pengadilan Agama (PA) membolehkan praktik pernikahan di bawah umur dan kawin siri tersebut. KUA kemudian merespon keputusan PA dengan penetapan Isbat nikah. Euis melihat bahwa argumen menjaga maslahah dan menghindari mafsadah para hakim tidak diimbangi dengan fakta di lapangan yang justru menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Menurutnya dalam kasus isbat nikah poligami siri, keputusan tersebut tidak memperhatikan (potensi) kemudaratan jangka panjang bagi istri pertama dan anak-anaknya dan efek psikis, ekonomi, dan sosial yang dialami. Euis memandang bahwa praktik seperti ini terjadi karena pegawai KUA kurang memiliki pemahaman dan kekuatan dalam membela hak dasar bagi pihak-pihak yang dirugikan oleh praktik isbat nikah ini. Euis barangkali benar bahwa KUA perlu didorong sebagai garda terdepan untuk memberikan pemahaman terhadap penghormatan hak-hak sesama dalam kasus pernikahan dan keluarga melalui program-program penyuluhan bagi pasangan calon pengantin. Namun, jika KUA secara hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali menindaklanjuti putusan PA, maka sosialisasi dan pendidikan HAM juga perlu diberikan kepada para hakim di PA.

Bab Keempat menyorot dua potensi pelanggaran hak dalam perwalian nikah. Halili Rais melihat bahwa masih banyak penghulu yang melihat wali nikah penyandang disabilitas memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dianggap dapat menghalangi mereka melakukan peran sebagai wali nikah sebagaimana mestinya. Jika kondisi diterima begitu saja, tentu saja akan ada hak dasar yang dilanggar. Sebagai praktisi dan fungsionaris KUA, Halili melihat bahwa hak dasar tersebut sebisa mungkin harus dilindungi dengan membangun argumen yang disarikan dari tradisi fikih dan peraturan perundang-undangan. Di antara jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memfasilitasi mereka dengan alat bantu sehingga mereka dapat mengerti proses-proses dalam ijab kabul pernikahan. Adapun terkait batasan minimal usia sebagai wali nikah, Halili memandang perlu memahami khazanah fikih secara humanis. Literatur fikih menyebut tidak menyebut batas minimal usia wali nikah, namun hanya memberi kriteria tertentu, yaitu usia baligh, yang diterjemahkan oleh sejumlah fungsionaris KUA sebagai usia minimal seseorang boleh melangsungkan pernikahan dalam ketetapan negara.

Zudi Rahmanto di Bab Kelima menyorot praktik pernikahan anak di bawah umur yang masih kerap terjadi di masyarakat, tanpa mempertimbangkan efek bagi masa depan anak tersebut. Memang benar praktik pernikahan tersebut tidak dilarang di dalam literatur fikih klasik. Namun Zuhdi melihat bahwa di era modern praktik pernikahan di bawah umur dapat membawa dampak negatif bagi anak dan berpotensi melanggar hak dasar anak tersebut. Menurutnya, pemerintah masih terkesan permisif terhadap praktik-praktik pernikahan di bawah umur di masa. Zuhdi memandang perlu adanya kebijakan komprehensif dan langkah-langkah terstruktur dari institusi pemerintah (yang melibatkan banyak pihak penghulu KUA dan hakim PA) untuk melindungi hak-hak sipil anak di bawah umur dan menghindarkan mereka dari dampak negatif dari praktik pernikahan tersebut. Zuhdi melihat bahwa hakim —yang seringkali menangani putusan nikah di bawah umur karena alasan dispensasi— diharapkan mampu memainkan peran penting untuk mengeluarkan putusan penikahan yang memprioritaskan perlindungan hak dasar anak di bawah umur. Namun, Zuhdi tampaknya kurang mengeksplorasi lebih jauh dasar yang sering dipakai para hakim dalam menjatuhkan putusan dispensasi tersebut: apakah karena faktor pemahaman keagamaan atau karena faktor lain. Ini penting untuk menentukan strategi bagi pendidikan hakim yang berorientasi pada penghormatan hak dasar manusia.

Perlindungan Hak Dasar dengan Kesadaran Hukum dan Pemahaman Agama yang Humanis

Pendemi Covid-19 tidak hanya mengakibatkan krisis kesehatan global, namun juga krisis ekonomi hingga pada level komunitas terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Bab Keenam mengulas konteks khusus ini yang melatari maraknya praktik Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian yang mengancam hak-hak perempuan dan anak. Pandemi Covid-19 membawa dampak signifikan bagi terhentinya banyak sektor ekonomi dan pendapatan kepala keluarga yang pada umumnya menjadi tumpuan kehidupan keluarga. Masalah ini tidak jarang berujung pada perceraian dan KDRT. Memang tidak ada salahnya dengan perceraian tersebut; hanya saja hal ini menimbulkan masalah lain yaitu hak-hak janda dan anak terancam tidak terpenuhi. Moh Mufid dan Najib Kailani melihat belum memadainya kekuatan peraturan terkait nafkah pasca cerai menjadi salah satu faktor utama di balik rentannya kondisi para perempuan dan anak-anak untuk mendapatkan hak dasar mereka. Penulis memandang perlu upaya-upaya meredam laju perceraian dalam konteks krisis tersebut dengan memperkuat pemahaman moral keagamaan melalui fikih maqasidi, yang mengingatkan kembali suami dan istri tentang tujuan utama pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah yang menghormati hak dan kewajiban masing-masing.

Perlindungan hak-hak kelompok minoritas, marjinal dan lemah membutuhkan upaya-upaya penguatan hukum. Bab Ketujuh memotret perubahan yang terjadi pada Pengadilan Agama dalam kurun dasawarsa terakhir. Abdul Halim menyorot pentingnya reformasi birokrasi, manajemen kinerja serta pelayanan publik pengadilan untuk menunjang usaha-usaha perlindungan hak dasar manusia, terutama dari kelompok rentan. Reformasi hukum perlu diarahkan pada pembangunan manusia yang bermartabat serta berorientasi pada perlindungan dan penegakkan HAM sebagaimana amanat Konstitusi, di satu sisi, dan pemahaman keagamaan yang humanis untuk menjamin akselerasi penegakan HAM di kalangan komunitas beragama.

Menimbang Buku Membela Hak-hak Masyarakat Rentan

Kelebihan buku ini dapat dilihat dari keterlibatan penulis baik dari kalangan akademisi maupun praktisi. Penulis dengan latar belakang akademisi mampu menghadirkan pembacaan teoretis dan konseptual terhadap masalah-masalah HAM yang menimpa kelompok rentan. Penulis dari kalangan praktisi mampu menghadirkan potret nyata dari masalah-masalah HAM dan tantangan legal dan teologis yang dihadapi oleh fungsionaris KUA dan PA. Penulisan buku ini juga memperhatikan unsur keterlibatan penulis laki-laki dan perempuan, meski jumlah penulis laki-laki masih lebih banyak. 

Sebagai karya yang disusun dari telaah, diskusi dan studi tentang kasus-kasus HAM yang dihadapi komunitas Muslim rentan yang penanganannya melibatkan para fungsionaris KUA, buku ini turut berkontribusi dalam memberikan arah yang humanis bagi penegakan hak-hak dasar manusia. Peran buku ini sebagai salah satu acuan dalam pendidikan HAM bagi fungsionaris KUA menunjukkan upaya positif bagi popularisasi wacana penghormatan hak dasar manusia yang ditopang oleh pemahaman hukum dan tafsir keagamaan yang humanis. 

Hanya saja, problem-problem resistensi penegakan HAM karena masalah teologis perlu mendapat perhatian khusus, terutama dengan memperbanyak argumen, dalil, dan idiom yang berakar dari khazanah intelektual keislaman. Ini akan sangat membantu dan berguna bagi para penyuluh maupun penghulu dalam melaksanakan tugas mereka di tengah masyarakat Muslim dengan pemahaman dan orientasi keagamaan yang beragam. Di samping itu, perlu juga dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi dalam bentuk gambar, denah dan lainnya agar substansi buku ini lebih mudah dicerna. Sebagai buku acuan dalam training dan pendidikan HAM, rangkuman isi perlu ditambahkan di setiap akhir bab agar lebih memudahkan pembaca menangkap substansi bacaan.

Shares:
Show Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *