Senin (05/02), Pusat Pengkajian Islam Demokrasi dan Perdamaian (PusPIDeP) yang didukung oleh Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), Universitas Oslo, meluncurkan hasil monitoring dan dokumentasi program pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) di kalangan penyuluh dan penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. PusPIDeP melakukan monitoring dan dokumentasi program pendidikan HAM yang telah berjalan selama 10 tahun oleh Fakultas Syariah dan Hukum dan kemudian dilanjutkan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan bekerja sama dengan NCHR Universitas Oslo. Acara peluncuran ini dihadiri oleh para fasilitator pendidikan HAM dari Pascasarjana UIN Kalijaga, sejumlah penyuluh, penghulu dan pimpinan KUA dan Kantor Wilayah Kementerian Agama, dan tamu undangan dari unsur pimpinan unit UIN Sunan Kalijaga dan masyarakat.
Dalam paparannya, Prof. Euis Nurlaelawati, manajer proyek monitoring dan dokumentasi, menyampaikan bahwa program pendidikan HAM yang dilaksanakan oleh Pascasarjana dan Fakultas Syariah dan Hukum telah menunjukkan keberhasilan dalam beberapa hal, terutama dalam pengayaan wawasan HAM di kalangan penyuluh dan penghulu. Euis mencontohkan HAM oleh sebagian penyuluh dan penghulu pada awalnya hanya sebatas penghilangan nyawa manusia tanpa dasar, dan setelah mengikuti pendidikan HAM ini mereka mulai memahami bahwa HAM mempunyai cakupan lebih luas yang bertumpu pada penghormatan nilai-nilai kemanusian, keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum. Euis menyampaikan bahwa pemahaman HAM para penyuluh dan penghulu sebenarnya tidak tunggal, sehingga desain pendidikan HAM perlu dibuat dalam level-level yang berbeda dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Mewakili tim pelaksana pendidikan HAM, Maufur mengapresiasi masukan-masukan dari tim monitoring dan dokumentasi. Maufur menyampaikan bahwa mereka sengaja menekankan pendekatan fikih dalam program pendidikan HAM karena mereka menyadari bahwa penyuluh dan penghulu KUA merupakan garda depan dalam menyebarkan artikulasi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di akar rumput. Ia memahami fakta bahwa gagasan HAM muncul dari Barat, namun ia meyakini bahwa gagasan ini tidak berarti tidak bisa dipraktikkan di kultur yang lain, termasuk di masyarakat Muslim. Ia merefleksikan bagaimana demokrasi yang berasal dari Barat pada akhirnya juga telah banyak dipraktikkan di sejumlah negara Muslim. Menambahkan apa yang disampaikan Maufur, Prof. Noorhaidi menyorot aspek strategis membumikan HAM di masyarakat Muslim. Ia mengutip pendapat Abdullahi Ahmed An-Na’im, cendekiawan kelahiran Sudan, yang mengambil posisi untuk menolak identifikasi HAM dengan Barat. Jika HAM harus selalu ditarik relasinya dengan Barat, makan akan banyak problem yang dihadapi masyarakat dari latar belakang kultural dan agama yang berbeda. Untuk itu, pendekatan berbasis fikih diambil karena merefleksikan akar epistemologis dalam khazanah Islam.
Selanjutnya, Ghufron Su’udi yang mewakili penyuluh dan penghulu KUA, mengingat bagaimana awal-awal mengikuti pendidikan HAM sering membuatkanya tertuduh menyebarkan gagasan Barat. Ia mengapresiasi pendekatan fikih yang diambil oleh para pendidik karena ini sekaligus dapat menjawab resistensi. Membingkai pendidikan HAM dengan merujuk pada khazanah fikih dianggap lebih mudah dalam membahasakan gagasan hak dasar manusia ke masyarakat yang lebih luas. Pendekatan ini setidaknya membantu para penghulu dan penyuluh dalam menyelesaikan masalah-masalah relasi antar iman dan membantu mereka mengambil langkah dan keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi (mengutip istilah usul fikih, muqataḍā al-ḥāl). Ghufran berharap pendidikan ini dapat diperluas jangkauan pesertanya, serta ke depan diharapkan ada evaluasi terhadap para peserta tersebut.
Mengingat pentingnya media baru dalam kampanye-kampanye pemberdayaan dan diseminasi gagasan dalam dasawarsa terakhir, Maria Fauzi, founder Neswa.id, menggarisbawahi pentingnya media baru sebagai kanal diseminasi gagasan HAM. Di era revolusi media komunikasi dan internet ini, ia menegaskan bahwa media sosial merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan kesadaran, memobilisasi dukungan, dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan. Dan strategi yang cukup efektif adalah melalui story telling karena cara ini dipandang lebih menggugah emosi dan, bahkan, penyajian gagasan dengan cara ini dapat lebih menggerakkan orang untuk mengambil tindakan.
Di sesi diskusi, muncul gagasan agar gagasan yang dituangkan lewat buku dan modul tersebut dapat disederhanakan dalam narasi dalam gambar dan ilustrasi. Harapan lain juga, agar program seperti ini dapat melibatkan Kementerian agama dengan lebih intensif sehingga dapat dilakukan di daerah di luar Yogyakarta.