Pada hari Senin, 14 Desember 2020, saya mengikuti dialog terbuka Habīb Alī al-Jufrī di Seuz University Mesir yang disiarkan langsung via Facebook di akun pribadinya. Topiknya cukup menarik, yaitu moderasi beragama (al-wasathiyah fi al-dīn al-islāmī). Topik ini menjadi topik yang sering diperbincangkan banyak kalangan di tengah isu radikalisme yang sangat menyita perhatian publik, termasuk di Indonesia .

Habīb Alī al-Jufrī merupakan salah seorang alim otoritatif kontemporer dan juru dakwah yang berpengaruh di dunia, baik di Timur maupun di Barat. Agenda dakwahnya tidak hanya berkutat di Timur tengah, namun juga merambah Amerika, Eropa, hingga Afrika. 

Pada forum tersebut, Habīb Alī al-Jufrī berbicara banyak hal seputar wacana keagamaan yang bersinggungan dengan persoalan sosial-budaya, politik, hingga radikalisme. Secara umum, isu-isu yang disinggung pada forum tersebut sudah banyak diuraikan dalam bukunya berjudul “al-Insāniyyah qabla al-Tadayyun”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan”yang telah terbit tahun lalu.

Pada tulisan ini, penulis akan menguraikan perspektif Habīb Alī al-Jufrī terkait isu radikalisme yang menjadi sebab citra Islam semakin buruk di mata dunia. Islam dituduh sebagai agama “pedang” yang mengajarkan doktrin kekerasan (al-‘unfu) dan ekstrimisme (al-tatharruf).

Akar Radikalisme

Menurut Habīb Alī al-Jufrī, akar dari radikalisme adalah miskonsepsi terhadap doktrin jihad dalam Islam. Hal ini terjadi sebab dangkalnya pemahaman dan pengetahuan tentang syariah Islam. Akibatnya, seringkali jihad dijadikan justifikasi untuk menyerukan permusuhan terhadap komunitas non-muslim secara membabi buta (al-Jufri 2015, 184).

Ektremisme dan radikalisme yang disusul dengan tindakan terorisme inilah yang menjadi akar persoalan yang mencederai citra Islam. Ironisnya, tindakan-tindakan itu justru diklaim merujuk pada sumber-sumber otoritatif ajaran Islam, baik al-Qur’an maupun hadis. Padahal, jihad dalam Islam sendiri bukanlah semata-mata perang dengan mengerahkan kekuatan fisik, karena perang fisik dalam Islam lebih tepat disebut qitāl.

Di pihak lain, terorisme jelas sangat berbeda dengan jihad. Karena terorisme dalam pemikiran Islam sering disebut dengan istilah irhāb (menakut-nakuti). Bahkan, dalam kamus Al-Mu’jam al-Wasīth disebutkan bahwa para pelaku teroris tidak disebut sebagai mujāhidūn (orang-orang yang berjihad), tetapi disebut dengan istilah irhābiyyūn (para teroris).

Dalam doktrin Islam perjuangan yang dinilai paling besar adalah perjuangan spiritual dan internal yang fokus pada pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela dan mewujudkan keadilan sosial serta hak asasi manusia. Namun, dalam banyak kasus, konsep jihad justru telah didistorsi untuk menjustifikasi tindakan kekerasan yang bermotif politis.

Dalam konteks inilah, Majma’ al-Buhūst al-Islāmiyyah al-Azhar (2002) dalam sebuah fatwanya menjelaskan bahwa radikalisme dan terorisme tidak mencerminkan jihad dalam Islam. Terorisme merupakan tindakan keji yang tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Karena pada dasarnya, siapapun yang memahami al-Quran dan hadis secara holistik dan komprehensif tidak akan menemukan ajaran yang memerintahkan aksi-aksi teror yang mengancam jiwa manusia.

Tidak heran, jika dalam paparannya, Habīb Alī al-Jufrī menyebut pihak-pihak yang melakukan aksi-aksi teror adalah orang-orang yang sedang sakit jiwa (al-tatharruf huwa fi al-asl maradh nafsī). Radikalisme ini disebabkan pemahaman menyimpang terhadap teks-teks keagamaan yang bertumpu pada dhahir teks an-sich dan alpa terhadap aspek maqāsid al-nushūsh (tujuan teks).

Kontra Narasi Radikalisme

Pemahaman keagamaan yang melihat permasalahan secara hitam-putih akan melahirkan sikap fanatik. Fanatisme ini disebabkan sudut pandang yang sempit dan single-minded. Sikap semacam ini cenderung akan melahirkan sikap intoleran dan tidak ramah liyan (the other).

Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Abū Hasan al-Amirī dalam bukunya “al-I’lām bi Manākib al-Islām”. Al-Amirī menyatakan bahwa fanatisme (ta’ashshub) merupakan penyakit sosial karena dapat membuat seseorang rela mengorbankan jiwa demi membela pandangan sempitnya. Bahkan, menurutnya fanatisme ini tidak hanya menjangkiti penganut Islam, tetapi merupakan persoalan yang dihadapi oleh semua agama (hādzihi afāt yubtala bihā ahlu kulli millah) (Al-Amiri 1988, 195).

Fuller dalam bukunya, “A World without Islam”, bahkan berandai-andai seandainya tidak ada agama Islam di muka bumi pun kekerasan atas nama agama (terorisme) akan tetap terjadi. Karena Fuller menyakini Islam sejatinya tidak pernah mengajarkan terorisme dan kekerasan yang destruktif; yang terjadi adalah Islam mengajarkan doktrin jihad dengan makna yang cukup kompleks dan disalahgunakan untuk menjustifikasi kepentingan politis tertentu.

Oleh karena itu, Habīb Alī al-Jufrī menyerukan untuk membangun kontra narasi radikalisme ini dengan basis pemahaman Islam yang benar dan upaya menaklukkan ego diri dan hawa nafsu atas nama kepentingan agama. Hal ini karena kekerasan atas nama agama (terorisme) masih sering diklaim sebagian kalangan sebagai bentuk ekspresi keberagamaan itu sendiri.

Dalam konteks inilah, narasi yang dikembangkan Habīb Alī al-Jufrī untuk melawan radikalisme adalah jargon “al-insāniyah qabla al-tadayyun”, kemanusiaan sebelum keberagamaan. Menurut Habīb Alī al-Jufrī, kita perlu kembali ke rasa kemanusiaan kita sehingga keberagamaan kita menjadi lebih baik. Keberagamaan kita harus terpusat pada hati, sehingga rasa kemanusiaan kita pun hidup Kembali. Kita harus menghilangkan tujuan selain Allah seperti “saya”, ego diri, keserakahan, kesombongan, mencari reputasi serta popularitas dan status.

Ketika Habib Ali al-Jufri ditanya seorang mahasiswa tentang bagaimana strategi melawan paham-paham ekstrimisme yang mengatasnamakan agama, ia menjawab demikian:

التطرف ليس فكريا، التطرف نفسية تبحث عن فكر يبررها. بأمرين اثنين يحصن المتدين عن التطرف: العلم الشرعي الصحيح وأن يكون قاضيا لله على نفسه لا قاضيا للنفس على خلقه.

Radikalisme itu bukanlah pemikiran; radikalisme adalah kejiwaan yang mencari pemikiran untuk dijadikan justifikasi. Orang beragama dapat terhindar dari radikalisme dengan dua hal: ilmu agama yang benar, dan hendaknya ia menjadi hakim untuk Allah atas dirinya, bukan hakim untuk dirinya atas orang lain.

Terakhir, radikalisme yang berujung pada terorisme yang diklaim sebagai bentuk ekspresi keberagamaan adalah kejahatan kemanusiaan yang mengancam peradaban. Oleh karenanya, jargon “kemanusiaan (al-insāniyah) mendahului keberagamaan (al-tadayyun)” dan bukan mendahului agama (al-dīn) menemukan elan vitalnya. Sikap keberagamaan sejatinya adalah kesadaran diri kita dalam mengekspresikan ajaran agama. Agama (al-dīn) harusnya dipahami sebagai pegangan hidup yang justru mengajarkan nilai-nilai humanis dan pluralis yang tidak pernah merestui aksi-aksi teroris yang “bengis”. Wallāhu a’lam.[]

Gambar diunduh dari https://www.kmamesir.org/2017/10/habib-ali-zainal-abidin-al-jufri.html

Shares:
Show Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *