Pengantar 

Pandemi virus Corona (COVID-19) yang menyerang manusia di banyak negara adalah kejadian luar biasa dalam dasawarsa, bahkan abad, terakhir. COVID-19 tidak hanya memunculkan pertanyaan seputar kesehatan, tapi juga memunculkan masalah bagi kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan akademik. COVID-19 memaksa banyak orang untuk mengabaikan kegiatan dan relasi sosial yang melekat pada manusia sebagai entitas sosial-kemasyarakatan. Teman, tetangga, bahkan anggota keluarga mulai merasa tidak aman (insecured) berinteraksi satu sama lain karena khawatir tertular virus Corona. Mayat-mayat korban virus ini di beberapa negara tampak bergelimpangan, tidak mendapatkan upacara pemakaman yang selayaknya karena kekhawatiran publik terhadap potensi ketertularan.

Munculnya COVID-19 pertama kali di Cina memunculkan banyak spekulasi-spekulasi dan pandangan konspiratif. The New York Times, misalnya, memuat ulasan yang berisi tuduhan pemerintah Cina bahwa tentara Amerika yang berkunjung ke Wuhad pada Oktober 2019 adalah sumber penyebaran virus tersebut. Sebaliknya, President Amerika Serikat, Donald Trump, bahkan mempopulerkan tuduhan berlatar etnis dengan menyebut virus Corona sebagai “virus Cina” —karena merebak pertama di Cina. Di India yang sedang dikuasai oleh pemerintah ultra-nasionalis Hindu menuduh Muslim sebagai sumber petaka dan penyebaran virus Corona di negara itu. Sementara itu, di Indonesia virus Corona menjadi komoditas politik keagamaan karena arah kebijakan pemerintah untuk menutup tempat-tempat ibadah selama masa pandemi dipahami sebagai upaya pemerintah untuk menjauhkan Islam dari umatnya, mengukuhkan tuduhan kebijakan “anti Islam” yang sering disematkan kepada pemerintah saat ini.

COVID-19 juga menarik perhatian para intelektual dan akademisi seperti Jean-Luc Nancy, Slavoj Žižek, Giorgio Agamben dan Irfan Ahmad. Esai di bawah adalah ulasan Irfan Ahmad, peneliti senior di Max Planck Institut Jerman, terhadap relfkesi Giorgio Agamben tentang virus Corona. Agamben melihat bahwa kebijakan pemerintah di berbagai negara di dunia dalam menangani virus Corona mengarahkan manusia pada “kehidupan telanjang” (naked life), yaitu kehidupan yang hanya mementingkan aspek “biologis” semata dan mengabaikan, jika tidak merusak, kehidupan kolektif dan tatanan sosial manusia. Irfan Ahmad tidak setuju dengan Agamben yang memakai pasangan kategori zoē (kehidupan biologis) dan bios (kehidupan kolektif) dalam melihat efek dari kebijakan terkait virus Corona. Ahmad melihat bahwa politik teman-musuh lebih tepat melihat efek ini karena politik ini sudah ada sebelumnya. Pandemi COVID-19 kemudian membuat politik teman-musuh ini makin tajam. 

Munirul Ikhwan (PusPIDeP telah mendapatkan persetujuan dari Irfah Ahmad untuk menerjemahkan esainya “Coronavirus, naked life and the importance of Giorgio Agamben” yang dimuat di www.thepolisproject.com dan memuat terjemahannya pada web PusPIDeP)

Esai ini secara kritis melibatkan refleksi filsuf Italia Agamben tentang “kehidupan telanjang” terkait dengan kondisi pengecualian yang terlembagakan untuk melawan COVID-19. Kondisi pengecualian ini merupakan sebuah paradigma kekuasaan “baru” di mana ancaman virus-sebagai-teror merekayasa keberlangsungan kehidupan biologis atas hubungan-hubungan sosial moral. Politik masa depan tampaknya akan menonjolkan pertemuan biopolitik dan pasangan kawan/lawan.

Sibuk dalam membuka kedok kekuasaan hingga saat ini, tampaknya sekarang banyak yang menjadi penggemar topeng (masking) di belakang langkah luar biasa yang diambil oleh berbagai pemerintah untuk mengatasi virus Corona (COVID-19). Saya menggunakan masking sebagai kependekan dari beberapa respon yang bersemangat terhadap catatan kritis [1] yang diterbitkan oleh filsuf Italia Giorgio Agamben mengenai akibat dari langkah pemerintah tersebut. Langkah-langkah ini, antara lain, termasuk: pelarangan kebebasan bergerak; penutupan ruang-ruang publik seperti taman, stasiun kereta, bandara, museum; penutupan institusi-institusi seperti sekolah, perguruan tinggi atau universitas; pelarangan terhadap pertemuan apa pun —sosial, budaya atau politik; dan kepatuhan ketat terhadap penjarakan sosial di tempat-tempat di mana orang diizinkan untuk berkunjung. Agamben menjadi sasaran kritik yang keras namun tidak adil. [2] Berbeda dengan para pengritiknya, saya berpendapat bahwa refleksi-refleksi Agamben itu sangat mendasar untuk memahami efek politik global kita saat ini dan masa depan yang diliputi rasa takut. 

Esai ini membahas dua masalah inti terkait berbagai langkah yang diambil oleh berbagai negara di dunia untuk menangani virus Corona. Pertama, esai ini menganalisis munculnya apa yang disebut Agamben sebagai “kehidupan telanjang(naked life) bersamaan dengan Covid-19. Tidak seperti kehidupan telanjang di kamp-kamp pemusnahan Nazi yang dibangun jauh dari kehidupan sosial “normal” dan dibahas dalam Home Sacer; Sovereign Power and Bare Life (1998), Agamben sekarang menandai awal kehidupan telanjang tepat di tengah-tengah kita dan sebagai konsekuensi dari tindakan luar biasa untuk melawan pandemi. Kedua, esai ini juga merenungkan kondisi pengecualian yang telah dilembagakan sebagai akibat dari “pertempuran” atau “perang” melawan virus tersebut. Di sini saya membahas politik permusuhan (the politics of enmity) yang terbukti, antara lain, dalam militerisasi, fitnah, pengkambinghitaman —atas nama komunitas etnis atau agama dan kebangsaan— dan hubungannya yang rumit dengan demokrasi dan media. 

Apa itu Kehidupan Telanjang vis-à-vis Demokrasi?

Di tengah-tengah refleksi Agamben terdapat pertanyaan bagaimana serangkaian tindakan yang diadopsi oleh pemerintah untuk melawan virus Corona telah mereduksi manusia secara langsung untuk menjadi lekat pada “kehidupan telanjang”, yang selanjutnya mengarah pada hampir penghapusan (atau reorientasi) semua yang bersifat sosial dan manusiawi. Kehidupan telanjang adalah “hidup apa adanya” (bare life), sebuah konsep yang diteorikan di dalam Homo Sacer karya Agamben. Dua kata terakhir dalam teks terjemahan merupakan terjemahan Inggris dari konsep asli berbahasa Italia nuda vita. Tidak seperti terjemah Homo Sacer, para penerjemah Means Without End: Notes on Politics (2000) karya penting Agamben lainnya menggubahnya menjadi “kehidupan telanjang”. Konsep kehidupan telanjang berasal dari perbedaan antara zoē dan bios dalam Bahasa Yunani. Zoē menunjuk pada karakteristik kehidupan semua makhluk hidup, termasuk hewan, sementara bios melambangkan kehidupan kolektif, kehidupan berkualitas dalam sebuah polis (negara-kota). Artinya, di dunia Yunani kuno, zoē hanyalah kehidupan biologis sedangkan bios berkaitan dengan kehidupan dalam komunitas politik. Kekuatan argumen Agamben terletak pada kekuasaan belaka yang dengannya ia tunjukkan bagaimana pemisahan yang rapi antara domain kehidupan (telanjang) alami dan arena kehidupan politik telah kabur untuk masuk ke “zona ketidakbedaan yang tak dapat direduksi” (a zone of irreducible indistinction; [h. 9]). Bagi Agamben, sosok orang Yahudi di kamp pemusnahan yang dianalogikan sebagai “der Muselmann” (Muslim) merupakan paradigma kehidupan telanjang —kehidupan yang dirampok status politiknya dan dilecehkan dari protokol kewarganegaraan apapun. Meskipun barangkali tampak paradoksal pada awalnya, kehidupan ini adalah bagian dari komunitas yang telah ditetapkan baginya sebagai sebuah pengecualian. Maksudnya, “aturan itu berlaku untuk pengecualian“ dalam penarikannya bukan dalam penerapannya [h. 18]. Dengan kata lain, dengan mencitrakan kembali bios ke dalam zoē, kekuatan berdaulat lah yang menentukan kehidupan mana yang harus disingkirkan dan kehidupan mana yang dibiarkan hidup dan dilindungi. Dalam analisis Agamben, kamp menjadi mungkin dalam kondisi pengecualian yang dipimpin oleh kekuatan berdaulat. Namun, sebagaimana argumennya dalam Means Without End, kondisi pengecualian telah kehilangan keistimewaannya untuk menjadi hampir sebagai sebuah norma.

Di sini perlu ditunjukkan implikasi radikal dari argumen Agamben tentang selebrasi yang tidak kritis, jika bukan penyimpangan, dari demokrasi. Kamp pemusnahan Nazi bukan hanya suatu peristiwa atau momen buruk, namun juga contoh jelas dari modernitas dan biopolitiknya. Agamben memang berbicara tentang “solidaritas internal antara demokrasi dan totaliterisme“ (Homo Sacer, [h. 10]) tepat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dia bahkan mengatakan “politik Barat itu sebuah biopolitik dari sejak awalnya“ [ibid. h. 181]. Perbedaan pemikiran Agamben dalam Homo Sacer menjadi sangat mencolok dibandingkan dengan The End of History and The Last Man karya Francis Fukuyama (1992), keduanya ditulis setelah keruntuhan bekas Uni Soviet. Berbeda sekali dengan kegembiraan Fukuyama tentang apa yang ia pandang sebagai kemenangan demokrasi liberal atas komunisme, Agamben sangat kritis, bahkan tidak percaya, pada demokrasi liberal. 

Kembali pada apa yang dipikirkan Agamben artinya penyusutan kehidupan manusia (bios) menjadi hanya kehidupan telanjang belaka (zoē) setelah kondisi pengecualian diperkenalkan untuk menangani virus Corona, kemiripannya dengan kamp dapat dilihat dalam banyak hal. Perumpamaan ini bukan dalam arti bahwa kehidupan telanjang pasca virus Corona itu rentan terhadap pemusnahan dengan cara yang sama seperti di kamp. Kemiripannya justru terletak pada tercabiknya kehidupan kolektif dalam sebuah komunitas yang bercirikan solidaritas berdasarkan pada kesukaan bergaul (socialability). Dengan cara ini bios direduksi menjadi zoē, dan keasyikan dengan yang terakhir menang atas yang pertama. Kekhawatiran terkait dimensi sosial sebagai cita-cita hubungan seseorang dengan polis banyak terefleksikan dalam kecemasan Agamben tentang karakter orang hidup yang menjadi mati dan sekarat. Ini secara logis diikuti oleh adanya keserentakan antara reduksi manusia ke dalam kehidupan telanjang belaka dan kondisi pengecualian yang dilembagakan oleh berbagai negara. Sebagaimana dibahas di bawah ini, contoh paling penting, juga yang paling menakutkan, dari kehidupan telanjang yang Agamben berikan adalah ditinggalkannya orang sakit oleh orang yang sehat, dan orang yang mati oleh orang yang hidup, contoh terakhir tampak pada mayat yang hanya dibakar tanpa bahkan pemakaman dalam arti yang paling sederhana. Landasan kondisi pengecualian ini, Agamben mengamati lebih lanjut, adalah pandemi baru. Dengan ini, dia bermaksud bahwa ancaman terorisme yang mendorong penerapan kondisi pengecualian dalam demokrasi Barat (dan di tempat lain) sejak 11 September tampaknya sekarang telah habis masanya sebagai sebuah penyebab. Analisis Agamben yang sangat politis itu menjadi perdebatan bagi banyak pengritiknya yang menuduhnya, antara lain, hidup di dalam dunia khayalan [3].

Realitas dalam Kaitannya dengan Kebenaran

Nasib buruk terus-menerus yang dialami banyak orang miskin migran di berbagai kota dan kekerasan yang menimpa mereka adalah lambang pamungkas dari fakta bahwa mereka hampir tidak mempedulikan pemerintah yang menyerukan lockdown secara tiba-tiba.  

Prihatin dengan hubungan manusia dalam kehidupan sehari-hari yang ia saksikan, Agamben tidak mengabaikan “kenyataan“ virus Corona. Dia menjelaskan dalam satu rangkaian “klarifikasi” [4] dan‚ “sebuah pertanyaan” [5] yang dipublikasikan masing-masing pada 17 Maret dan 15 April sebagai sekuel dari refleksi pertamanya pada 26 Februari 2020. Agamben tertarik pada serangkaian tindakan yang diambil oleh negara-negara dalam menangani virus Corona dan cara negara tersebut yang secara radikal mengubah pemahaman kita tentang siapa diri kita dan bagaimana kita, sebagai manusia, saling berhubungan satu sama lain. Maka pendapat utama Agamben adalah bagaimana manusia bertahan dengan tereduksi dalam “kehidupan telanjang“, dengan demikian berjuang demi pemeliharaan biologis telanjang mereka, bukan kelangsungan hidup sosial manusiawi seperti yang diinginkan oleh polis yang ideal. Lebih jauh, reduksi ke dalam “kehidupan telanjang” ini terkait dengan berbagai tindakan yang diadopsi oleh negara dan elite kekuasaan yang pada saat yang sama mengklaim ingin “menyelamatkan” rakyat dengan mengambil langkah-langkah atas nama mereka, dan melembagakan kondisi pengecualian di seluruh negara bangsa. Sebagai contoh, pemerintah federal India dengan tergesa-gesa mengumumkan lockdown (kuncitara) dengan memberi rakyat pemberitahuan tidak lebih dari empat jam sebelum pemberlakuan. Dalam memaksakan lockdown ini, pemerintah federal bahkan tidak berkonsultasi dengan pemerintah negara bagian, apalagi publik. Nasib buruk terus-menerus yang dialami banyak orang miskin migran di berbagai kota dan kekerasan yang menimpa mereka adalah lambang pamungkas dari fakta bahwa mereka hampir tidak mempedulikan pemerintah yang menyerukan lockdown secara tiba-tiba.  

Inilah Kehidupan Telanjang

Agamben menawarkan gagasan penting ke dalam transformasi radikal hubungan sosial yang dihasilkan dari langkah-langkah luar biasa oleh negara-negara untuk melawan virus Corona. Langkah-langkah ini telah mengubah —dan tampaknya akan mengubah banyak— apa makna menjadi manusia. Secara instruktif, Agamben berbicara tentang manusia yang direduksi ke dalam “kehidupan telanjang” sebagaimana kelangsungan hidup biologis semata telah mengalahkan segalanya.  Bukannya mengikat kita bersama, Agamben lebih lanjut merenungkan, ketakutan pada kematian atau kehilangan apa yang sudah menjadi kehidupan telanjang justru “membutakan dan memisahkan” manusia. Yang menjadi inti analisis Agamben adalah pertanyaan moral yang mendalam yang ia ajukan dalam “clarification” yang diterbitkan pada 17 Maret. “Apakah layak disebut masyarakat yang hidup tanpa nilai kecuali hanya nilai bertahan hidup?”

Dengan merenungi korban yang meninggal, Agamben mengamati bahwa mereka “tidak mempunyai hak pemakaman dan tidak jelas apa yang terjadi pada mayat orang-orang yang dicintai”. Kekhawatiran terhadap korban yang meninggal begitu mendasarnya hingga Agamben menggarisbawahi hal tersebut dalam pemikiran-pemikiran berikutnya yang diterbitkan pada 17 Maret juga pada 15 April. Karena untuk menghindari penularan virus dan resiko kesehatan kedekatan relasional dikorbankan demi untuk mengikuti aturan baru tentang penjarakan sosial, Agamben kemudian bertanya: “Bagaimana kita bisa menerima (…) orang-orang yang kita sayangi dan manusia pada umumnya yang seharusnya tidak meninggal begitu saja, bahkan (….) mayat mereka harus dibakar tanpa pemakaman?” Praktik ini —membakar mayat tanpa pemakaman— Agamben mengklaim, “belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.” Dalam konteks ini, ia sangat kritis terhadap Gereja Katolik yang terus diam. Gereja Katolik juga telah mengabaikan, Agamben menulis seakan-akan mengingatkan kita, pesan spiritual bahwa salah satu tindakan paling bijak adalah mengunjungi dan merawat orang sakit.

Pada 6 April 2010, seorang perempuan Hindu meninggal di Indore, sebuah kota di negara bagian India, Madhya Pradesh. Karena takut terinfeksi virus, kerabat dan tetangganya yang Hindu menolak mengremasinya. Ini adalah kemunduran moral, jika bukan kepengecutan sekaligus, yang tampak dalam sifat manusia yang hidup terhadap yang telah meninggal yang menjadi keprihatinan mendasar Agamben. Dengan membawa tetangga yang meninggal di atas bahu mereka sepanjang lebih dari dua kilometer dan menunjukkan keberanian moral, para tetangga Muslim kemudian melakukan kremasi kepadanya. 

Karena perhatian analitis Agamben lebih fokus pada langkah-langkah negara, pertanyaan terkait lainnya adalah: bagaimana langkah para kepala negara terhadap warga yang meninggal? Bagi Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, orang-orang yang masih hidup tampaknya sudah mati, dan oleh karenannya dia tidak menganggap perlu untuk memperhatikan orang-orang yang sekarat. Dia bahkan meminta warga Inggris untuk siap “kehilangan orang-orang yang dicintai”. Moralitas macam apa yang sedang bermain di sini ketika seorang pemimpin terpilih memilih untuk tidak memperhatikan orang-orang yang sekarat, atau setidaknya beberapa dari mereka, yang telah memilihnya?

Yang sama pentingnya adalah penggambaran virus Corona sebagai musuh dan idiom perang yang umum diungkapkan oleh Boris Johnson, Donald Trump, dan yang lain, termasuk Narendra Modi dari India. Modi mengatakan bahwa “perang” melawan virus Corona ini akan memakan waktu tiga hari lebih lama daripada perang Mahabharata yang membutuhkan waktu delapan belas hari untuk menang. Perang yang Modi maksud ini menggambarkan perang untuk merebut tahta dalam epik Hindu. 

Militerisasi, Demonisasi dan Keadaan Pengecualian

Perang melawan virus Corona di India dalam beberapa hal berarti perang melawan Muslim. Media mulai memutar narasi bahwa Muslim sengaja menyebarkan virus tersebut. “JihadCorona“ dan “Muslim berarti teroris” menjadi trending di Twitter. Wacana resmi hanya melegitimasi narasi bahwa kurva virus Corona sebelumnya baik-baik saja hingga Jamaah Tabligh (JT), sebuah organisasi non-politik yang mengajak umat Islam untuk mempraktikkan ritual keagamaan (terutama salat lima waktu sehari), mengubahnya secara radikal. The Times of India, salah satu surat kabar yang paling banyak dibaca di negara itu, menghubungkan JT dengan terorisme.

Menyamakan virus Corona dengan terorisme, M.P. Renukacharya, seorang anggota parlemen dari Partai Bharatiya Janata (Bharatiya Janata Party, BJP) mengeluarkan seruan “untuk menembak mereka dengan peluru”. “Mereka” menurut Renukacharya tertuju pada para pengikut JT, yang takut menjalani tes medis sebagai akibat dari stigmatisasi penyakit tersebut secara umum dan tuduhan massal terhadap umat Muslim sebagai penyebar virus secara sengaja pada khususnya. Rumor-rumor tak berdasar menyebut Muslim sebagai “teroris virus Corona”, menuduh mereka “meludah pada makanan dan menginfeksi persediaan air dengan virus tersebut.” Seorang pemimpin BJP menyamakan anggota JT dengan pelaku bom bunuh diri. Saya melihatnya mengatakan ini dalam tayangan Deutsche Welle (DW), lembaga penyiaran internasional Jerman, dalam buletin berita berbahasa Inggris yang disiarkan langsung pada 18 April di siang hari. Seorang kreator konten YouTube di negara bagian selatan Tamil Nadu juga menggambarkan pengikut JT sebagai pelaku bom bunuh diri. Pada 2 April, Maridhas mengunggah video berjudul: “Maridhas Menjawab: Terorisme + Corona = Masalah baru India | Isu Jamaah Tabligh”.  

Poin saya adalah adanya demonisasi politik terhadap Muslim sebagai musuh yang sengaja menyebarkan virus di kalangan warga Hindu. Memproduksi dan mempersenjatai narasi ini membutuhkan penghapusan penyebutan tentang pertemuan yang sama oleh warga Hindu, Sikh, dan lainnya.

Jelas, maksud saya bukan untuk mengatakan bahwa beberapa kasus penyebaran virus Corona tidak terkait dengan JT yang mempunyai markas-markas besar di New Delhi yang ditempati oleh ratusan orang. Namun, poin saya adalah adanya demonisasi politik terhadap Muslim sebagai musuh yang sengaja menyebarkan virus di kalangan warga Hindu. Memproduksi dan mempersenjatai narasi ini membutuhkan penghapusan penyebutan tentang pertemuan yang sama oleh warga Hindu, Sikh, dan lainnya. Yang tidak kalah penting adalah pilihan kata-kata yang sangat berbeda yang disampaikan oleh media dalam menggambarkan warga Muslim dan Hindu dalam kondisi yang sama setelah pengumuman lockdown oleh pemerintah. Seperti yang diamati oleh ahli bahasa Rizwan Ahmad, saat umat Muslim digambarkan sebagai “bersembunyi“ di tempat-tempat keagamaan mereka, orang orang Hindu dan yang lain hanya digambarkan “terjebak” atau “terdampar”. Perlu juga dicatat bahwa hingga 23 Maret Parlemen India masih terus aktif. Dan selambat-lambatnya pada 2 April, dengan melantunkan “Jai Sri Ram (salam Dewa Rama)” ribuan umat Hindu memadati kuil-kuil di Benggala Barat. Dengan melanggar lockdown dan penjarakan sosial, Biarawan Utama Uttar Pradesh, Yogi Adithanath, sendiri turut berpartisipasi dalam sebuah ritual Hindu yang diikuti oleh lebih dari seratus lima puluh orang.

Contoh dari India ini menunjukkan keterkaitan yang mengejutkan antara biopolitik Foucault dan definisi politik sebagai dualisme teman-musuh oleh Carl Schmitt— para ahli teori yang sedang digeluti oleh Agamben. Sebagaimana dijelaskan di bawah, tidak seperti Agamben, saya melihat adanya keterkaitan antara biopolitik dan dualisme teman-musuh, bukan penggantian yang terakhir oleh yang sebelumnya sebagaimana yang tampaknya Agamben sarankan. Khususnya dalam catatan kritisnya yang pertama (lihat catatan kaki 1), Agamben menulis tentang “militerisasi” masyarakat yang simultan dengan langkah-langkah luar biasa yang diambil berbagai negara dalam melawan virus Corona. Militerisasi ini sudah berlangsung. Didampingi oleh polisi, Ajit Doval, Penasehat Keamanan Nasional India yang bertugas memberikan saran kepada Perdana Menteri tentang ancaman internal dan eksternal terhadap negara, mengunjungi markas JT untuk “mengevakuasi“ penghuninya. Bahwa Muslim merupakan ancaman terror-biopolitik tunggal terbukti dari fakta bahwa Doval tidak mengunjungi tempat-tempat serupa milik komunitas lain. Terlebih lagi, dalam buletin tentang kasus-kasus virus Corona, pemerintah Delhi memiliki kolom terpisah yang disebut “Markaz Masjid“. Penyebutan masjid sebagai kategori terpisah dalam buletin pemerintah ini sama politisnya sebagaimana kolom itu sendiri. Demonisasi agama ini telah mendorong serangan terhadap sebuah masjid di Delhi, penolakan masuknya warga Islam ke wilayah-wilayah Hindu serta serangan mematikan terhadap Mahboob Ali, seorang Muslim yang dituduh merencanakan penyebaran virus Corona (bahkan ketika Ali sendiri belum terbukti positif). 

Pendisiplinan dan penyerangan populasi yang terstigma berdasarkan budaya, agama, atau kebangsaan —ingat bahwa Trumph awalnya menyebut virus Corona sebagai “virus Cina“ dan kemudian mempertahankan penggunaan frase itu— dan dugaan keterkaitan mereka dengan penyakit ini telah terjadi di banyak tempat. Kondisi pengecualian yang Agamben bicarakan ada di depan kita semua. Atas nama memerangi virus Corona, Viktor Orban di Hungaria telah menjadi diktator yang memerintah berdasarkan dekrit hingga dia menganggapnya cocok. Bayang-bayang kondisi pengecualian juga terlihat di Ghana dan Srilanka. Pengawasan oleh negara dan perusahaan serta tindakan kekerasan terhadap jurnalis dan aktivis telah meningkat di Bangladesh, India, dan Kenya. Di India, mereka yang ditangkap termasuk dua ilmuwan peneliti dari Jamia Millia Islamia, sebuah universitas yang sentral di New Delhi. Tuduhan “palsu” terhadap ilmuan ini —Meeran Haider dan Safoora Zargar— adalah bahwa mereka memicu kekerasan politik atau pogrom di Delhi pada Februari 2020.

Di Jammu dan Kashmir, di mana keadaan darurat telah diberlakukan selama beberapa waktu, banyak wartawan, termasuk Gowhar Geelani dan Masrat Zahra, ditangkap tepat selama lockdown berlaku di seluruh negeri. Penangkapan ini dilakukan untuk membenarkan perjuangan negara melawan “terorisme”. Geelani bukanlah jurnalis biasa. Dia adalah penulis Kashmir: Rage and Reason, seorang fellow Chevening pada tahun 2015, sebelumnya ia bekerja sebagai editor di Deutsche Welle. Zahra yang berusia 26 tahun juga seorang jurnalis foto terkenal yang karyanya telah muncul di Al-Jazeera, The Caravan, The New Humanitarian, TRT World dan The Washington Post. Untuk memperjelas, poin saya adalah bahwa pandemi bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong kondisi pengecualian (atau intensifikasi sebagaimana telah berjalan) dan serangan besar-besaran kepada para jurnalis dan aktivis. 

Sudahkah Coronavirus Menggantikan Musuh Sebelumnya?

Sebagaimana di India, kohabitasi Islamofobia dan langkah-langkah melawan virus Corona juga terlihat di negara lain. Menanggapi Agamben, Sergia Benvenuto, seorang psikoanalisis Italia, menulis bagaimana pekerja rumah tangganya yakin bahwa orang Arab-Muslim “merencanakan” virus Corona. Di Inggris, kelompok sayap kanan menyalahkan Muslim atas penyebaran virus ini. Di seberang Atlantik, Gregory Gutfeld, seorang produser televisi Amerika, mendesak para pemirsanya “untuk memikirkan (virus Corona) ini dengan cara yang sama seperti kita memikirkan tentang terorisme dan 11 September.” Departemen Kehakiman AS telah menyatakan bahwa siapapun yang dengan sengaja menyebarkan virus ini akan dituntut berdasarkan hukum terorisme.

Pernyataan ini —mengidentifikasi virus seperti halnya dengan terorisme— muncul secara halus dari reportase Perang Global Melawan Teror (the Global War on Terror, GWOT) ketika George Bush Jr. memperluas jangkauan senjata pemusnahan massal (Weapons of Mass Destruction, WMD) dengan memasukkan “setiap bahan peledak, atau gas beracun, bom, granat, atau roket yang memiliki muatan propelan lebih dari empat ons” dan “senjata apapun yang melibatkan organisme penyakit.” [6] Antropolog Joseph Masco secara jeli mengamati fusi antara “penyakit menular” dan jangkauan yang meluas dari definisi WMD di jantung GWOT. Langkah-langkah membuat definisi seperti ini dirasionalisasikan untuk melawan “bioterror” dan mencapai biosekuriti. Seperti jangkauan WMD, biosekuriti juga, yang awalnya digunakan untuk melindungi domba dari penyakit menular di antipoda pada tahun 1990-an, diberi keleluasaan yang hampir tak terbatas untuk memasukkan perang pencegahan melawan terorisme. 

Dalam tanggapannya terhadap catatan kritis Agamben (lihat catatan kaki 3), Anastasia Berg tampak marah atas saran Agamben bahwa “dengan terorisme yang telah habis masanya sebagai penyebab tindakan luar biasa, penemuan sebuah epidemi menawarkan alasan ideal” untuk memperluas kondisi pengecualian. Saya juga tidak setuju dengan Agamben, meskipun dengan alasan yang berlawanan. Asumsi Agamben tentang penggantian musuh lama dengan musuh baru —penggantian terorisme dengan virus Corona— tampaknya agak terburu-buru. Dia juga tampak mengambil jalan pintas terkait hubungan antara penyakit menular dan terorisme yang sudah ada. Masco menulis tentang transformasi Amerika Serikat dari kanter-komunisme menjadi negara keamanan kanter-teror, yang setelah 11 September mengemas “penyakit menular sebagai bentuk terorisme.” Begitu juga, dengan menempatkan virus dalam kategori senjata biologis potensial, AS mencap “flu tahunan […] ke dalam bentuk teror“ (h. 152). Berbeda dengan Agamben, saya telah tunjukkan dalam esai ini bahwa ada tumpang tindih antara virus Corona dan terorisme, yang Agamben anggap sebagai musuh baru dan musuh lama. 

Analisis saya juga berfungsi sebagai kritik imanen terhadap Agamben pada poin lainnya. Berlawanan dengan Agamben, yang di dalam Homo Sacerargues menyatakan bahwa kehidupan telanjang/eksistensi politik (zoe/bios) bukan teman/musuh merupakan “pasangan kategori yang mendasar“ (h. 8) dalam politik, data yang mendasari esai ini menunjukkan bahwa keduanya ada berdampingan sebagai konstitutif bersama. Fitnah terhadap Muslim sebagai musuh hadir bahkan dalam inisiatif-inisiatif yang tampaknya bertujuan untuk melawannya. Ingatlah pada fitnah terhadap warga Muslim oleh media India dan sebagian dari pemerintah sebagai penyebar virus corona yang terencana. Menurut cerita firnah ini, penjaja sayuran Muslim meludah di atas sayuran dan mencucinya dengan air selokan. Sebuah film pendek berjudul Darr (ketakutan) membantu menyebarkan politik permusuhan ini dengan kedok menyampaikan pesan “harmoni antar komunitas” dan melindungi “persatuan nasional”. [7]

Film berdurasi tujuh setengah menit itu memperlihatkan Osman, seorang penjaja sayur Muslim —memakai baju hijau dan kopiah putih— mengetuk pintu seorang Sharma, memohon kepadanya untuk membeli sayuran darinya. Di latar belakang tampak berita televisi tentang virus Corona di ruang tamu mewah Sharma tersebut. Muncul dengan kaos bergambar bendera AS dan foto Abraham Lincoln di atasnya, Sharma tersebut menolak untuk membeli dari Osman dengan mengatakan ia sudah memesan sayuran secara daring. Ketika Osman yang kecewa itu meninggalkan flat Sharma (yang gerbang utamanya ditandai dengan simbil-simbol Hindu), ia bertemu Ramcharan, seorang penjaja sayuran Hindu. Ramcharan yang sebenarnya membawa sekarung sayuran untuk Sharma memberi tahu Osman bahwa Sharma menolak membeli darinya karena ketakutan yang meluas bahwa penjaja sayuran Muslim meludah di atas sayurannya. Dia juga mengatakan kepada Osman bahwa meskipun hanya sedikit Muslim yang melakukan itu, namun seluruh komunitas ternoda secara tidak baik. Alih-alih mendebat basis yang sangat fiktif dari fitnah dan politik yang diambilnya, film ini melegitimasi keduanya dalam bahasa perbandingan yang tidak jujur: tidak semua penjaja sayuran Muslim, tetapi hanya beberapa yang menyebarkan virus Corona dengan meludahi sayuran. Perhatikan bagaimana fiksi secara ajaib ditransformasikan menjadi fakta dan politik permusuhan yang mematikan dipentaskan di hadapan massa dengan kedok “harmoni”. Bagi beberapa pembaca mungkin penting untuk mengetahui bahwa nama-nama semua aktor yang muncul di layar tersebut adalah orang Hindu. 

Masa depan yang panjang akan memberi tahu kita sejauh mana Agamben benar dan apakah pengamatannya itu produktif. Kondisi pengecualian dan politik permusuhan yang menjadi komponen (constitutive) demokrasi liberal di seluruh dunia, saya khawatir, akan meningkat. Saya harap saya salah.

Gambar adalah hasil karya Muhammad Adil berjudul Group of Men in White Thobe dengan lisensi Free to use yang diunduh dari https://www.pexels.com/photo/landscape-man-people-woman-5223325/

[1] Giorgio Agamben, “The Invention of an Epidemic” https://www.journal-psychoanalysis.eu/coronavirus-and-philosophers/; asalnya dipublikasikan dalam bahasa Italia pada Quodlibet, https://www.quodlibet.it/giorgio-agamben-l-invenzione-di-un-epidemia)

[2] Banyak respon terhadap catatan Agamben tersedia dalam topik “Coronavirus and Philosophers” pada https://www.journal-psychoanalysis.eu/coronavirus-and-philosophers/

[3] Anastasia Berg, “The Italian Philosopher’s Interventions are Symptomatic of Theory’s Collapse into Paranoia.” 30 Maret (https://www.chronicle.com/article/Giorgio-Agamben-s/248306 ), Jean-Luc Nancy, “Viral Exception.”  (https://www.journal-psychoanalysis.eu/coronavirus-and-philosophers/), dan Slavoj Žižek, “Monitor and Punish? Yes, Please” (http://thephilosophicalsalon.com/monitor-and-punish-yes-please/) menganggap Agamben, meskipun dengan cara berbeda, menentang —jika tidak menyangkal— kenyataan. 

[4] Giorgio Agamben, “Clarifications” https://www.journal-psychoanalysis.eu/coronavirus-and-philosophers/

[5] Giorgio Agamben, “A Question,” (diterjemahkan oleh Adam Kotsko) https://itself.blog/2020/04/15/giorgio-agamben-a-question/

[6] Joseph Masco, The Theater of Operations: National Security Affect from the Cold War to the War on Terror, Duke University Press: 2014, p. 39; tulisan miring ditambahkan.

[7] Film ini disajikan oleh Studio 32B, ditulis oleh K.K. Shukla, diarahkan oleh Raghav Tripathi, diproduksi oleh Raghav Karkhana Production, dan dibagikan di Facebook pada 3 Mei.

Shares:
Show Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *